Zinia part 1
Zinia anakku. Si ceria dan selalu tampak gembira ini adalah putriku satu-satunya. Selain Zinia aku juga punya Ammar, putraku juga satu-satunya. Meski pernikahan kami hanya diberi sepasang anak lelaki dan perempuan namun rumah tak pernah sepi.
Zinia dan Ammar selalu kompak saling menyayangi. Rumah selalu tampak ramai karena Zinia memang tipe anak yang ekstrovert. Selain cerewet ia juga suka jadi pusat perhatian. Tak heran ketika SMA ia menjadi ketua OSIS perempuan pertama. Zinia selalu membanggakan.
Dari sekian banyak kebanggaan yang kurasa, hanya sekali aku tidak merasa siap menerima keputusan Zinia. Menikah ketika karirnya sedang naik. Bukan aku tidak ridho dengan keputusan Zinia. Bukan pula menyalahkan pernikahan akan membuat karirnya meredup. Namun keputusan berikutnya setelah menikah ia akan terus di rumah karena akan menjadi ibu rumah tangga.
Aku takut Zinia tidak akan punya pegangan ketika pernikahannya tak berjalan baik. Bukan mendoakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada pernikahan anakku. Namun aku takut apa yang aku alami akan terulang kembali pada kehidupan Zinia. Ayah Zinia menceraikanku setelah ketahuan memiliki perempuan lain di luar rumah. Bukannya menyesal, malah menceraikan aku setelah aku mengadu pada keluarga besarnya. Meskipun keluarga besarnya mendukungku dan selalu mensupport kehidupan aku dan anak-anak. Namun ternyata hal tersebut malah membuat suamiku marah karena merasa bahwa aku membuatnya tampak buruk di depan keluarganya sendiri.
Ahhh kenapa harus mengingat semua luka itu. Lagi pula kejadian itu sudah lama sekali. Bahkan Zinia yang memang dekat dengan sosok ayahnya merasa shock dengan kejadian itu. Hingga saat itu ia tak ingin melihat ayahnya. Bahkan saat ayahnya menawarkan hidup enak bersama keluarga barunya Zinia menolak mentah-mentah. Padahal bila hidup denganku akan serba terbatas.
Namun Zinia berbeda, keterbatasan kami malah membuatnya menjadi sosok anak yang kuat. Ia juga pandai mengambil banyak kesempatan. Tak malu ia pun mendeklarasikan diri menjadi palugada di sekolah. Segala kebutuhan siswa bisa dibeli melaluinya. Mulai bahan tugas hingga pulsa semua ada. Zinia pun mulai mandiri membiayai dirinya sendiri. Makanya ada kekhawatiran ketika ia memutuskan tidak bekerja setelah menikah. Bisakah ia membiasakan diri meminta dari orang lain meskipun suaminya? Aku saja ibunya, sangat jarang dimintai sesuatu olehnya.
Setelah menikah Zinia langsung pindah hidup berdua dengan suaminya. Sedikit-sedikit kekhawatiranku terhapuskan. Setiap datang ke rumah ia selalu ceria. Apa saja ia ceritakan dengan bersemangat. Rumah yang sepi langsung ramai dengan kehadirannya. Ammar pun merasa tenang bila sudah melihat adiknya. Aku masih ingat, saat aku dan Ammar berkunjung melihat Zinia yang baru melahirkan anak pertama, Zinia meminta Ammar segera menikah. Memang, Zinia semakin dewasa setelah menikah. Aku pun merasakannya. Tak lama berselang, Ammar pun meminta restuku untuk melamar seorang gadis.
Lain Ammar lain Zinia. Kepada Ammar pun aku sedikit khawatir karena istrinya berasal dari keluarga serba berkecukupan. Aku takut Ammar tak bisa memenuhi semua keinginan istrinya. Semoga saja Ammar bisa menjadi suami yang baik. Bertanggungjawab tak seperti ayahnya. Aduh kenapa terus terbayang masa lalu. Ayahnya yang tak pernah menafkahi anak-anaknya setelah memiliki keluarga baru.
Beberapa bulan setelah menikah Ammar kemudian mendapat jabatan baru. Sayangnya ia harus pindah ke lain pulau. Sehingga setiap pekan tak ada lagi yang mengunjungiku kecuali Zinia dan anak-anaknya. Ammar berkali-kali mengajakku turut serta hidup bersamanya dan istri. Namun aku urungkan karena pernah mendengar percakapan Ammar dan istri saat baru menikah dan masih tinggal di rumah bersamaku.
"Nanti kalo pindah, ibu tinggal bersama kita ya.." kata Ammar pada istrinya.
"Kenapa gak sama Zinia aja mas.. kita kan baru menikah" jawab sang istri Fani.
"Tapi ibu itu tanggungjawabku dek.. aku anak lelaki.."
"Nanti saja lah mas kalo kita sudah punya anak.."
Tak lama berselang mereka pun pindah ke rumah mereka sendiri. Kedatangan Ammar dan Zinia bergantian setiap pekan. Aku masih ingat, subuh itu saat hendak mengambil air wudhu. Entah mengapa badan terasa tak enak. Begitu keluar dari kamar mandi aku terjatuh dan tak ingat apapun setelahnya.
Aku cuma ingat saat itu aku di rumah sakit. Zinia menangis di sampingku sambil membaca Al Qur'an. Ingin memanggilnya tapi tak bisa. Mau menggerakkan tangan dan kaki agar bisa bangkit ternyata susah sekali. Aku kenapa? Tak lama, kumengerti ternyata aku lumpuh karena stroke. Tak mampu berbicara. Hanya bisa tiduran di tempat tidur. Beberapa hari berselang aku pulang ke rumah Zinia.
Ah.. sebenarnya tak ingin merepotkan putri kecilku. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak bisa mandiri memenuhi kebutuhanku sendiri. Ammar kembali ke pulau seberang setelah menitipkan aku pada Zinia. Aku sedih ketika Ammar berkata,
"Maafkan mas ya Zinia, harusnya mas yang mengurus ibu. Tapi membawa ibu jauh ke seberang pulau takut membuat ibu semakin lelah.."
"Ini ibu Zinia juga mas meski tanggung jawab ada pada mas. Tapi berbakti pada ibu, sebelum salah pintu syurga tertutup buat kita mas.." jawab Zinia.
Sudah seminggu aku hidup dengan Zinia. Awalnya aku merasa aneh karena Zinia tak seceria biasanya saat berkunjung ke rumah. Semua hal ia ceritakan dengan semangat. Awalnya kupikir karena ia masih sedih dengan keadaanku. Ternyata aku salah. Zinia memang terlihat ceria saat mengurusku atau menyuapi. Namun kembali menjadi orang lain ketika berhadapan dengan anak dan suaminya. Ternyata Zinia sependiam itu. Aku tak menyangka. Zinia tak seceria Zinia putri yang kukenal. Ada apa dengan Zinia?
"Praaaang" kudengar suara benda seperti piring terlempar ke lantai.
"Kamu gak mau nurut sama aku!" Suara Zain lantang terdengar. Ada apa Zain marah sebesar itu. Zain suami Zinia memang tak banyak bicara.
"Ssst mas.. pelanlah sedikit. Ibu nanti terbangun.." suara Zinia terdengar pelan.
"Biar saja dia tau. Harusnya ibumu itu tanggung jawab abangmu. Bukan kau. Kau lebih berbakti pada ibumu daripadaku. Harusnya kau lebih berbakti padaku. Bukan yang lain! Meski itu ibumu!"
Aku terperangah. Tak menyangka Zain selama ini keberatan dengan adanya diriku. Jangan-jangan sikap dingin Zinia selama ini karena suaminya. Iyakah?
Ya Allah udah jadi emak emak ak jadi ngikutin cerbung ginian,
BalasHapusNext kaak 😂
Siiiip 😁😁
Hapuskok aku jadi bayangin besok masa tuaku apakah akan merasakan seperti itu? ngeri banget, huhuhu.. mesti harus ada komunikasi antara suami istri terkait kehidupan ortu apalagi ortu yang udah sakit2an ya mbak. duuh, ya ampun.. semoga kita semua bisa berbakti ke orang tua, pun semoga pasangan kita mendukung dan meridhoi.
BalasHapusMenurutku saat jadi ortu, kita kudu ngasih contoh ke anak dg merawat neneknya, jd terekam dalam otak bawah sadarnya gmn cara memperlakukan ibunya kelak ya
Hapusaihhh.... syedih syekali...
BalasHapusSemoga kita nanti tidak seperti itu ya.. punya menantu yang sayang juga sama kita.. hiks...
ditunggu lanjutannya...
Ya Allah pas di bagian akhir aku nyesek bacanya mbak. Walaupun menantunya keberatan minimal bisa dibicarakan baik baik ya kalau dia ga ingin tinggal bersama sang mertua
BalasHapusTerharu juga nih setelah membaca tulis ini. Jadi bahan untuk instropeksi diri dikemudian hari
BalasHapusZinia ini berbakti banget ya,membacakan Al-Quran juga gitu. Membaca cerita gini terkadang penting banget untuk menambah motivasi dan instropeksi diri juga.
BalasHapusHuhuhu sediih. Jadi membayangkan, kelak saya akan tinggal sama siapa? :(
BalasHapusSemoga kita selalu diberi kesehatan dan juga materi, sehingga tidak menyusahkan siapaun, termasuk anak dan menantu, ya kan mba...
HapusEh. Chapter 2 belum terbit ya? Mau komen apa ya..... Kan itu juga cerita khayalan. Mau dihubungkan ke dunia nyata juga kayaknya kurang pas eh. Tapi memang ada sih orang kayak gitu. Aku nggak bisa menyamakan dengan pandanganku pribadi yang mendukung istri jika melakukan kebaikan dan cenderung kurang "melayaniku". Tapi ya nggak mungkin sih aku seegois itu. Maksudnya kan, aku dan istriku sama-sama manusia yang punya kebutuhan masing-masing. Jadi ya, aku akan mendukungnya jika itu terjadi. Eh, komen apa aku tadi? Hehehhehehe....
BalasHapusNext kakk. Jadi kelanjutannya Zinia gimana.. Duh saya jadi takut tua nanti gimana :((
BalasHapusBagusss kak. Karna aku mulai emosi liat Zain. Ngebayangin kalaun punya anak perempuan bisa dapat mantu yg baik atau malah kayak zain yaa
BalasHapusHiks, auto membayangkan seandainya ibu Zinia itu sayaahhh... jangan sampe ya Allah... istri si Royyan menolakku trus nyuruh Ririn yg merawat Umi ehh suami si Ririn keberatan pula dg keberatanku. Ah... suamiku kamu di manaa... huhuu
BalasHapusJadi rada waswas kalo punya mantu nanti bakalan dapet kayak zainal. Haihhh. Tapi bagus ceritanya kak. Membangkitkan emosi. Hehe
BalasHapusBagus ceritanya jadi kepo ama lanjutannya bagus deh mbak
BalasHapusDuh ceritanya berasa banget dan bikin deg-deg ser. Bagaimana ya Zinia, terus apa yang bakal terjadi sama ibunya setelah tahu kenyataannya. Sedih Mbak.
BalasHapusBelum nikah kak 😂 jdi gk pala tau kehidupan berumh tangga tpi pas baca tulisan kakk jdi mala menjdi motivasi nntinya buat membangun keluarga yg baik. 🙂
BalasHapusWah keren mbak, bener-bener realita nih hihi.. banyak kejadian yaa polemik rumah tangga karena istri yg terlalu berbakti pada ortunya hihi
BalasHapusMenantu dan mertua sepertinya emang tergambar tak akur ya, kak. Tapi semoga endingnya bisa menepis isu ini.
BalasHapusAwalnya ngira ini cerita anak kakak. Tp kan anaknya kakak bukan sepasang kan ya
Bnayak cerita begini istilahnya kacang lupa kulitnya ,..next ditunggu lanjutannya
BalasHapus