Zinia Part 2
Apakah kehidupan pernikahan Zinia begitu berat sehingga mengubah keceriaan Zinia menjadi seperti sekarang ini? Aaah Zinia, ada apa denganmu, Nak? Kau tak pernah menyembunyikan apapun dari ibumu. Semua pasti kau ceritakan, termasuk pelanggaran yang kau lakukan meskipun terlambat. Seperti saat dulu di SMA, ketika Zinia izin menginap di rumah teman ternyata Zinia bukan hanya menginap tapi sebelumnya pergi nonton konser. Setelah menceritakan kenakalannya biasanya Zinia minta maaf dan berjanji tidak mengulangi. Tapi memang benar, Zinia teguh dengan janjinya.
Aku masih belum mengerti mengapa Zain keberatan dengan adanya aku di rumah ini. Apakah karena ada aku Zinia melupakan tugasnya di rumah hingga menelantarkan anaknya? Aku rasa tidak. Kulihat anak-anak selalu ceria. Rumah juga tidak berantakan. Ada apa sebenarnya?
"Bu.. kita sarapan ya.." Suara Zinia menyadarkanku dari lamunan saat masuk ke kamar. Sejak semalam aku tidak tidur memikirkan Zinia. Zinia terlihat biasa saja seakan tidak ada yang terjadi padanya. Zinia, pandai sekali kamu nak menyimpan semua rahasia. Ketika Zinia menyuapiku, tak sadar air mataku terjatuh.
"Ibu.. ibu kenapa? Ibu tidak suka sarapannya?" Aku menggeleng.
"Lalu kenapa Bu? Ibu sedang sedih?" Aku mengangguk. Air mata semakin deras kalau mengingat kejadian tadi malam.
"Ibu kangen mas Ammar?" Tanya Zinia lagi. Aku menggeleng lagi.
"Sedih kenapa Bu? Apa Zinia ada salah?" Aku menggeleng sekali lagi.
"Ibu jangan bersedih. Semua ini akan berlalu. Ibu pasti bisa pulih kembali. Kalo Ibu sedih, nanti jadi lama sembuhnya.." ia terus saja berkata sambil menyuapiku.
"Kalo Ibu sudah sembuh, nanti bisa kumpul bersama mas Ammar.."
Zinia, andai saja sembuh bisa secepat itu tentu saja ibu mau segera sembuh agar ibu tidak menyebabkan kesedihan bagimu dan rumahtanggamu.
Andai aku bisa berbicara akan ku ungkapkan semua yang aku rasakan. Zinia, Ibu mana yang tidak sedih ketika tahu putrinya pura-pura bahagia. Ibu mana yang tidak bersedih ketika tahu putrinya diperlakukan semena-mena. terlepas dari apa yang diperlakukan ayahmu kepadaku kau selalu berlimpah cinta dan kasih sayang, Zinia.
Sepanjang hari kulihat Zinia tidak ada perubahan dari hari sebelumnya. Aku jadi merasa Zinia sering berada di posisi sulit seperti ini. Dengan dalih istri harus nurut apa kata suami, sepertinya Zinia dimanfaatkan atas ego Zain, suaminya. Aku tidak ridho. Sungguh tidak ridho karena aku membesarkan Zinia dengan kasih sayang, darah dan air mata.
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Masih terbayang akan anakku. Apakah ia menyimpan kesedihan untuk dirinya sendiri? Apakah ia akan menangis tanpa seorangpun yang tau apa yang ia rasa? Oo anakku..
"Kamu sudah kabari abangmu untuk menjemput ibumu?" Suara Zain memecah keheningan malam.
"Belum mas.." lirih terdengar suara Zinia.
"Kau sudah tidak mau dengar kata-kata suamimu ya? Bukan kewajibanmu mengurus ibumu. Atau aku saja yang telpon abangmu, hah?"
"Plak.." aku terkejut mendengar suara tamparan.
"Jawab! Jangan diam saja"
"Tidak mas. Biarkan ibu di sini dulu. Kasian ibu nanti dibawa perjalanan jauh."
"Bukan urusanku. Urusanku hanya kau. Nanti di akhirat pun aku yang akan ditanyai tentangmu. Apakah kau taat atau tidak padaku!"
Astaghfirullah! Zinia.. pantas saja kau terlihat berbeda, nak! Ternyata sudah sering kamu diperlukan kasar oleh suamimu. Zinia kecilku.. meski ibu tau kamu itu kuat tapi ibu juga tidak rela mengetahui ini semua.
Zinia.. nama yang diberikan nenekmu dulu. Bunga liar yang cantik. Harapannya kamu akan menjadi perempuan cantik yang kuat. Tapi bukan begini yang kami harapkan.
Hingga subuh, aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku ikut menangis mendengar isak tangis Zinia dari kamar sebelah.
"Mas..Boleh minta uang untuk masak hari ini?" Bagaimana bisa kamu masih berlaku lembut Zinia? Tidak ada sedikitpun kesal di hatimu meski kamu diperlakukan buruk?
"Aku tidak akan memberikan nafkah hingga kau turuti apa kataku" ucap Zain tegas.
"Aku berhak tidak memberikan nafkah karena kau tidak taat. Karena kau nusyuz.." kata Zain lagi.
"Kalau begitu, izinkan aku mencari uang mas.." kata Zinia.
"Terserah!"
Tak lama berselang Zinia masuk ke kamar menyuapiku dan membersihkan tubuhku. Sekali lagi, aku tak melihat Zinia muram. Sepanjang mengurusku ia terus saja bercerita dan tampak ceria.
"Bu, Zinia pergi sebentar ya.. mau antar dagangan. Paling lama satu jam Zinia sudah kembali ke rumah.." pamitnya padaku.
Zinia bercerita dia bosan di rumah, jadi rencananya mau kembali jadi palugada seperti di masa sekolah dulu. Segala barang ia tawarkan online. Bila ada yang tertarik Zinia langsung pergi membeli dan juga mengantarkan kepada customer yang sudah memesan barang dagangannya.
Zinia sekarang sudah pandai berbohong. Untuk menutupi kedzaliman suaminya yang tak memberi nafkah ia rela berbohong dengan alasan bosan di rumah. Padahal dengan tubuh kecilnya ia mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini. Istirahat pun sering diabaikannya. Bagaimana mungkin ia bosan. Zinia, sebenarnya aku lebih sedih dengan drama ceriamu. Kau tutupi kesedihanmu dengan tawa yang selalu kudengar.
Bagaimana bisa Zain berlaku kasar pada putriku? Zinia tidak bisa dikatakan nusyuz. Dengan alasan itu dia membenarkan dirinya yang tak mau menafkahi Zinia. Padahal saat meminta Zinia menjadi istrinya. Ia dan keluarga besarnya sangat santun sekali. Saat itu aku merasa Zinia akan hidup bahagia dan tak akan merasakan apa yang dulu kurasakan. Tapi setelah tinggal bersama Zinia baru aku tau aslinya. Zinia.. tak pernah mengeluh sedikitpun. Hebatnya ia tutupi semua sifat jelek suaminya dari aku, ibunya sendiri.
"Istrimu kemana?" Suara perempuan terdengar dari ruang tamu.
"Ssst jangan keras-keras. Ia keluar sebentar. Barusan pamit padaku. Makanya bisa singgah sebentar ke rumah" suara Zain menimpali.
To be continue...
Hadeuh, aku jadi mau ngomel marah marah ke tokoh Zain. Sungguh patriaki sekali. Bukan begitu caranya memperlakukan istri. Zinia juga, bukan begitu caranya bersabar.
BalasHapusHihi sampe kebawa deh aku sama ceritanya.
Sama nih Ka Acha... sukses yaa emak Icha bikin kita terbawa jalannya cerita, hehe... lanjuutkaann
Hapusku mencium bau bau perselingkuhan...
BalasHapusmau komen apa lagi, selain tak sabar menunggu lanjutannya....
Alasan suaminya buat marah selalu 'tidak taat'.
HapusMengabaikan orang tua tu bukannya dosa hah...
menyebalkan
akhirnya part 2 rilis juga. ternyata Zinia itu artinya bunga ya, nggak tau kenapa dari part 1 baca kata Zinia mataku typo jadi baca Zina2 terus, wkwkwk
BalasHapusZain memang ya, tega bener nggak ngasih nafkah.. dann, endingnya sepertinya main perempuan nih si Zain. hmmm
Semoga ibunya segera sembuh ya,melihat Zinia yang terus begitu kasihan juga sih. Semoga bisa baca lanjutannya lagi nih,masih mau tau juga jalan cerita kelanjutannya deh.
BalasHapusYa ampun eh jahatnya itu orang..... Pokoknya aku bela Zinia dah. Jangan mau disuruh-suruh sama laki egois.....
BalasHapushuhuuu makin sedih ya :( ada ya laki-laki begitu dan ini banyak sih terjadi di dunia nyata :( yg terlihat manis belum tentu manis hehe
BalasHapusWah, penasaran dengan si cewek itu, jangan2 selingkuhan suaminya ya hehe.. jadi ingat sinetron kumenangis kak, sedihhhh
BalasHapusSuaminya Zinia bikin kesel, ya. Tapi salut sama Zinia yang sabar banget. Btw, apakah Zain selingkuh? Penasaran kelanjutannya.
BalasHapusKok pikiran kita sama ya mba haha. udah suuzon dluan sama Zain. Mudah2an engga sih :(( kalo iya, bakal jadi panjang nih cerita hahaha
Hapusnungguin part berikutnya, jadi penasaran meskipun kesal bacanya dengan prilakuk suaminya
BalasHapusKalau Zain tidak mau menafkahi Zinia, hmm... kehilangan hak menggauli Zinia dong dia sebagai suami. Sampai segitunya lho pengaturan hak dan kewajiban suami istri dalam Islam, so jangan main2 yaa Zain. Jadilah suami yg ma'ruf!
BalasHapusIh paling kesel deh klo suami ringan tangan, Zinia sabar banget ya menghadapi suami kayak gitu, btw ceritanya bagus cha, nunggu episod selanjutnya :)
BalasHapus