Bangkit dari Sakit Mental
Iya. Judulnya gak salah. Tulisan kali ini Emak dedikasikan buat pejuang mental health yang sudah keluar dari rumah sakit jiwa. Mudah-mudahan beberapa uraian di bawah bisa menjawab pertanyaan yang ada di kepala kalian.
Bangun tidur dan sadar, ketika membaca baju salah satu teman sekamar "Rumah Sakit Jiwa X". Terkejut? Pastilah kalian terkejut.
" Aku tidak gila. Kenapa bisa di sini? "
Pasti itu ada di benak kalian. Ya kan? Kok Emak tau? Karena Emak pernah menjadi caregiver pasien rumah sakit jiwa. Bibi sendiri.
Adik mama kami satu-satunya. Tidak berkeluarga dan sejak kecil ikut selalu kemana mama kami berada. Entah di mana awalnya, rasanya kejadian itu begitu cepat. Mau tidak mau Emak membawanya ke rumah sakit jiwa.
Pertanyaan kalian ketika sadar, "aku tidak gila" Itu kalian ucapkan di benak kalian setelah lebih kurang satu pekan kalian ada di sana. Setelah ikhtiar obat-obatan yang kalian konsumsi. Mungkin kalian pikir kalian baru masuk. Padahal kalian sudah beberapa hari di sana. Tidak sadar akan keadaan sekitar. Bisa dibilang saat itu kalian seperti mimpi.
Kalo seperti bibi Emak, beliau tidak ingat ketika melakukan kekerasan/penyerangan ke orang lain. Itulah alasan Emak membawanya ke rumah sakit jiwa. Emak takut bukan hanya orang lain. Namun dirinya sendiri pun nantinya akan tersakiti.
Pertanyaan kedua, mungkin kalian akan berucap
"Kok keluargaku tega membawaku ke sini? "
Kalian pikir keluarga sudah sangat jahat membawa kalian ke sini. Tapi tahu kah? Kalian adalah orang yang beruntung. Beruntung karena cepat ditangani petugas medis.
Menurut Dr Eka Viora SpKj terjadi kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia yang mencapai lebih dari 90%. Artinya kurang dari 10% penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Masih merasa keluarga kita jahat setelah tau data ini Mak?
Selebihnya, orang yang mendapatkan gangguan mental atau kejiwaan diobati ke dukun, dipasung atau bahkan dibuang ke jalanan oleh keluarganya. Masih merasa mereka jahat?
Bayangkan ketika mereka melepasmu masuk ke rumah sakit jiwa, mereka juga telah mengingkari bahwa anggota keluarganya, atau mungkin anaknya mengalami gangguan jiwa.
Bisa jadi kamu adalah sandaran hidup mereka, bisa jadi kamu adalah harapan mereka. Kurang hancur apalagi perasaan mereka Mak?
Yang benar adalah mereka sangat peduli kepadamu. Peduli masa depanmu. Ingin yang terbaik untukmu.
Setelah kamu masuk rumah sakit bukan berarti mereka tidak sibuk. Meski kamu tidak dapat bertemu dengan mereka, mereka setiap harinya harus mengurus obat-obatan dan administrasi. Bolak-balik rumah dan rumah sakit untuk membawakan keperluanmu.
Tips untuk Keluarga Pasien
1. Pupuk Percaya Diri Pasien
Pasti. Ketika keluar dari rumah sakit jiwa. Ada perasaan malu pada diri pasien. Sebisa mungkin mereka ingin tidak ada seorang pun yang tau bahwa mereka pernah masuk ke rumah sakit jiwa.
Sampaikan bahwa masuk ke rumah sakit jiwa tidak ada bedanya dengan masuk ke rumah sakit fisik. Semua orang diberi Allah cobaan berupa sakit. Kebetulan ada yang sakit fisik dan ada yang sakit mental. Tidak ada aib pada sakit mental. Sama halnya ketika orang terkena sakit kanker.
Sampaikan bahwa mereka tetaplah orang yang berguna. Tidak ada beda perlakuan antara dirinya yang dulu dengan yang sekarang.
2. Jaga Jadwal Minum Obat dan Kontrol ke Rumah Sakit
Setelah keluar dari rumah sakit, pasien memang diharuskan tetap kontrol secara rutin ke rumah sakit. Bujuk dan tetap semangati terapi minum obat agar penyakit tidak berulang.
Ada kalanya mereka akan bosan. Tapi sampaikan bahwa ini demi kebaikan mereka. Minum obat bukan meracuni tapi ikhtiar untuk kesembuhan. Jangan sampai terjadi 'gejala putus obat'. Karena akan membuat penyakit datang kembali.
3. Anjurkan Aktivitas Seperti Sediakala
Setelah keluar rumah, mungkin mereka cenderung lebih nyaman di rumah. Ajak mereka keluar. Bujuk untuk kembali beraktivitas layaknya pribadi mereka yang dulu.
Terus-terusan di rumah takutnya akan menjadi trigger kebosanan dan stress berulang. Takutnya malah memicu depresi .
Tips untuk Pasien
1. Bangun kepercayaan diri.
Ingatlah bahwa menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa bukanlah sebuah dosa. Sumber percaya diri terbesar adalah dirimu sendiri. Ingatlah berbagai macam prestasi yang telah kamu raih. Ingat berapa banyak talenta yang Allah titipkan di dirimu.
Satu cobaan dari Allah untuk membuat dirimu lebih kuat. Bukan membuatmu harus terkubur di kamar menyendiri. Bangkitlah dan buat prestasi lain yang lebih hebat lagi.
2. Allah tidak pernah salah menilai bahu.
Allah tidak pernah silap. Allah tidak pernah salah menilai bahu sehingga menitipkan beban yang salah. Tidak!
Kenapa saya? Why me? Itu katamu. Why not! Itulah jawabannya. Karena tidak ada bahu yang sekuat bahumu. Maka cobaan itu Allah titipkan di bahumu. See?
3. Taat Minum obat
Jangan terus mengandalkan orang lain atau keluarga untuk mengingatkanmu minum obat. Terkadang keluarga kita memiliki kesibukan lain. Coba sesekali kamu yang minta minum obat. Tindakan sekecil ini bisa membuat keluarga menjadi lebih lega.
Jangan takut ketergantungan obat. Rajinlah untuk konsultasi ke dokter saat kontrol telah tiba. Agar perasaanmu juga menjadi lebih tenang.
4. No Over Thinking
Ketika semua badai telah lewat, obat telah diberhentikan oleh dokter dan dinyatakan tidak butuh obat lagi, hiduplah dengan lebih bersyukur.
Tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu kita pikirkan. Karena kesehatan mental kita lebih penting.
Ingat bahwa setiap masalah yang didatangkan Allah terkadang tidak perlu usaha kita untuk menyelesaikannya. Terkadang kita hanya perlu bersabar dan mempercayakan bahwa Allah akan menyelesaikannya untuk kita.
5. Tidak Perlu Tau
Orang lain, yang bukan circle terdekat kita, tidak perlu tau bahwa kita menjalani terapi. Tidak perlu tau kita adalah mantan pasien rumah sakit jiwa. Terkadang orang lain hanya pengen tau tanpa empati.
Kenapa? Bahkan rumah sakit sekalipun tidak mengizinkan keluarga membawa rekam medis kita. Artinya? Data kita dilindungi oleh negara. Tidak akan ada kesempatan orang lain untuk menjatuhkan kita. Ingat, hiduplah untuk masa depan.
6. Warning Sign
Meskipun telah dinyatakan sembuh. Kita sendiri harus menyadari warning sign / tanda bahaya akan kesehatan mental kita. Bila merasa mulai stress dan menyendiri segeralah cari bantuan medis.
Keluarga terdekat yang kita percaya juga sebaiknya diingatkan apabila ada tingkah kita yang beda dari biasanya, segeralah cari bantuan medis. Semakin cepat kita mendapat pertolongan, semakin cepat kita pulih.
Bagaimana Mak? Masih ada berbagai pertanyaan yang masih tersisa di kepala?
Yuk kita hitung banyaknya berkah yang Allah beri agar kita tak selalu terpaku pada cobaan yang baru kita terima.
Salam sayang buat semua pembaca,
Semoga sehat selalu, fisik maupun mental ❤
terimakasih kak, jadi pengingat untuk kita semua
BalasHapusBetul Bg, kita tidak tahu cobaan apa yang telah dialami orang lain sehingga ia bisa mengalami gangguan kesehatan mental ya kan
HapusMungkin perlu penambahan dukungan kepada pasien dengan membersamai atau membuat aktivitas pendampingan yang di kontrol dan dievaluasi dalam kurun waktu tertentu sampai pasien benar-benar bisa 'terbang' dengan sayapnya sendiri
BalasHapusSemoga bibinya diberikan kesehatan , caregiver dan semua keluarga serta support systemnya diberikan kemudahan dan kekuatan. Aamiin.
BalasHapusSenangn membaca tipsnya...
Saya bukan caregiver tapi seorang ponakan, 20 tahunan (anak kakak suami saya) mengalami gangguan mental..dan sayangnya pengobatan medis tidak dilanjutkan . Dibiarkan saja di rumah, padahal kadang nyakitin diri dan orang sekitar, dll. Kalau dikasih saran ortunya menolak..hiks. Kasihan anaknya
Yang kasihan kalau orang-orang dengan masalah kejiwaan yang seharusnya dirawat di rumah sakit tapi tak ada keluarga yang bisa diandalkan, seperti yang orang tuanya sudah meninggal :(
BalasHapusTerus ... Mbak .... bagaimana kabar bibinya sekarang?
Yang kasihan itu aparat desa justru bilang sana sini kalau warga RT itu ada yg dibawa ke RSJ. Macam macam mengaku jasa kalau ga dibawa oleh mereka bagaimana jadinya. Bla bla bla... Bukannya rekam medis nya itu dilindungi negara ya?
BalasHapusSaya tidak sebut desa mana, hanya melampiaskan kekesalan saja
Semoga mereka juga mendapatkan informasi ini
Tulisan yang sangat bermanfaat mba.. Setuju sebetulnya yang dirawat di RSJ justru yang beruntung, saya masi ingat di masa SD saya banyak orang sakit jiwa di jalanan karena kabur atau dibuang keluarganya.. Gak jarang mereka mendapatkan kekerasan bahkan pemerkosaan akibat hidup dijalanan.. :(
BalasHapusSemangat dari dalam diri ini penting ya mbak ternyata, terutama muhasabah diri sendiru dan mengingat sang Kuasa. Dengan begitu mentak nggak mudah down
BalasHapusKeluarga harus mau menjadi pendengar kalau anggota keluarganya mau curhat/ sekedar ingin menceritakan sesuatu. Kadang mau cerita ke ibu, ibu bilang bentar ya. Mau cerita ke adik adik lagi sibuk juga. Bergantian lah mengajaknya bercerita itu sangat membantu
BalasHapusBelum pernah sih Mak punya pengalaman jadi caregiver pasien sakit jiwa. Tapi bener banget, mereka butuh dukungan untuk membangkitkan kepercayaan dirinya. Buat yang pernah mengalami langsung jadi pasien, tetap semangat. Dunia masih membutuhkan kebaikan kalian.
BalasHapusYa aku juga belum pernah.
HapusSalut buat Icha, kuat mendampingi alias jadi caregiver buat bibinya
Benar, karena tiap pribadi punya hak-hak perdatanya, termasuk hak untuk dilindungi data pribadinya, apalagi terkait rekam medis pernah menjadi pasien RSJ ya.
BalasHapusBener banget kak, pasti gak mudah ya, dan salut kk pernah jadi caregiver. Jadi gimana lanjutan cerita Bibi kakak?
BalasHapusJadi terharu bacanya.
BalasHapusJadi pendengar bagi mereka yang lagi tertekan saja sebenarnya cukup membantu ya., padahal kesannya sepele
Pejuang kesehatan mental itu tidak lebay dan berlebihan. Saya suka jengkel kalau ada orang yang bilang sakit mental itu lebay. Karena sejatinya setiap orang punya masalah hidup sendiri-sendiri
BalasHapus